Pendidikan
Tanpa Kekerasan
Drs.
Abd. Rahman Assegaf, M.A.
Diterbitkan
oleh:
Penerbit
Tiara Wacana Yogya
Yogyakarta:
2003
Bab I
Pendahuluan
Tak
seorang pun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Terdapat beberapa beberapa asumsi, kekerasan dalam
pendidikan bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan
hubungan, terutama fisik. Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh
buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Kekerasan dalam
pendidikan mungkin pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan
media massa. Kekerasan bisa jadi merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan
masyarakat yang mengalami oergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya
sikap jalan pintas. Dan kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh latar belakang
sosial-ekonomi pelaku.
Kekerasan dalam pendidikan merupakan perilaku
melampaui batas kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik
maupun pelecehan atas hak seseorang. Kekerasan dalam pendidikan harus dicegah.
Sebagaimana kekerasan bila timbul karena ada kondisi yang mempengaruhinya, maka
untuk menghentikan kekerasan pun dengan cara meminimalisir akar persoalan
pemicunya tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak sengaja diselesaikan
dapat memunculkan kekerasan susulan.
Tujuan dari kajian ini yaitu, memahami tipologi
perilaku kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, khususnya yang terjadi pada
periode pasca reformasi di mana kasus kekerasan dalam pendidikan bermunculan
secara intensif. Lalu, mencari kondisi-kondisi yang menjadi latar belakang dari
munculnya kekerasan dalam pendidikan. Serta memberikan masukan atau usulan
kebijakan public guna membenahi kondisi pendidikan agar menjadi lebih humanis,
yakni melalui konsep pendidikan tanpa kekerasan. Dan meninjau masalah
pendidikan tanpa kekerasan dalam perspektif pendidikan Islam.
Bab II
Pembahasan
Kekerasan dalam Pendidikan
Kondisi
internal pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh langsung pada perilaku
pelajar atau mahasiswa dan para pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Untuk
berbicara tentang kekerasan dalam pendidikan, terlebih dahulu perlu dikatakan
kondisi internal dunia tersebut. Sampai saat ini terdapat kesenjangan yang
cukup lebar antara upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan dengan kondisi
riil di lapangan. Apa yang dinyatakan pemerintah sebagai “beres”, pada
kenyataannya bisa amburadul, dikarenakan tidak semua kebijakan dapat dijalankan
secara merata dengan kapasitas yang sama oleh tiap satuan pendidikan atau pihak
sekolah. Terlebih bila sekolah yang berada di daerah terpencil, atau daerah
kerusuhan atau konflik.
Terdapat upaya yang telah dilakukan
pemerintah dalam membenahi kondisi pendidikan nasional. Misalnya pada orde
baru, pemerintah telah mengeluarkan biaya sekitar 77,7 milyar sebagai dana
pembangunan untuk sektor pendidikan dan kebudayaan. Hingga akhir orde baru,
terdapat peningkatan dalam Angka Partisipasi Kasar (APK) di semua tingkatan
sekolah, baik itu SD, SLTP, SLTA maupun PT. Di balik kemajuan pesat tersebut
ada beberapa keprihatinan yang riil khususnya di tingkat sekolah dasar, kondisi
pendidikan kita sesungguhnya amat memprihatinkan. Contohnya di beberapa kota,
ribuan gedung SD rusak, bangunan yang kondisinya parah, bangunan yang sudah
roboh alias rata dengan tanah. Adapula bangunan yang rusak parah, dan akibat
kekurangan murid, 470 SD inpresse-Jateng ditutup. Kekurangan guru juga termasuk
permasalahan, karena banyak pencari kerja yang tidak berminat menjadi tenaga
kontrak dan karena adanya kebijakan zero growth. Sementara dana pemeliharaan
teramat sedikit, itupun realisasinya kadang kala diselewengkan kaum tertentu.
Kualitas guru di Indonesia paling rendah se Asia Pasifik, diakibatkan karena
kurangnya perhatian pemerintah akan dunia pendidikan. Demikian pula dengan
wajah siswa SD, terlihat bahwa keterampilan membaca di Indonesia berapa pada
tingkat terendah se Asia Timur, terkait dengan perpustakaan yang sedikit di
sekolah seluruh Indonesia. Angka drop out yang tinggi, para lulusan SD-SLTP
yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, disebabkan karena
pernikahan dini, kesulitan biaya, kemiskinan dan kapastias klas atau jumlah
murid per klas. Dampak negatif dari krisis ekonomi yang berkepanjangan juga
menimpa para guru. Tingkat kesejahteraan guru yang tergolong rendah, serta
menimbulkan terjadi penyimpangan, dan banyak pula yang memiliki pekerjaan
sampingan. Beberapa kebijakan telah ditempuh dalam mengatasi hal-hal tersebut. Kebijakan
untuk meningkatkan anggaran pendidikan merupakan langkah yang tepat, meskipun
tidak dapat merubah langsung kondisi pendidikan di Indonesia dikarenakan memang
parahnya kondisi pendidikan di Indonesia. Di samping masalah kesejahteraan,
kondisi kesehatan anak sekolah juga amat memperihatinkan. Siswa menderita
kekurangan yodium, menderita asma, juga rawan terjangkit demam berdarah. Jumlah
penerimaan barupun berkurang.
Kondisi eksternal adalah kondisi
non-pendidikan yang menjadi faktor tidak langsung timbulnya potensi kekersan
dalam pendidikan. Tampak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, di mana
pelaku pendidikan berada di dalamnya. Masalah narkoba, tayangan kekerasan di tv
dan media massa, pornografi dan pornoaksi, miras, pergaulan bebas, serta tindak
criminal merupakan masalah-masalah rasio-kultural yang bisa melibatkan pelaku
yang terkait dengan symbol-simbol dan citra pendidikan. Hasil penelitian
membuktikan bahwa tv berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku anak.
Perkembangan teknologi informasi dan eletronika telah merubah pola komunikasi
dan interaksi antar individu. Hadirnya teknologi muti-media ini sesungguhnya
menjadikan proses pendidikan jauh lebih menyenangkan, namun aspek teknologi
tersebut juga mengandung hal-hal yang bila diukur dari kacamata agama, moral
atau budaya, cenderung merusak. Faktor sosial budaya lainnya adalah masalah
pergaulan. Pergaulan bebas merupakan masalah sosial yang tentu akan merambah
dunia pendidikan pula, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Kondisi eksternal
pendidikan yang memperihatinkan tersebut meniscayakan pentingnya control
sosial, nilai budaya dan agama, agar ekses modernisasi tidak merusak moralitas
bangsa. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi secara tidak langsung pleh
kondisi eksternal ini. Padahal dengan banyaknya kasus kekerasan tersebut bukan
saja menodai agama, melainkan juga budaya, kondisi politik dan hukum juga dapat
mempengaruhi pendidikan. Kedua hal
tersebut terwujud dalam kebijakan pemerintah. Suatu kebijakan disatu sisi, bisa
menjadi faktor eksternal yang berpotensi bagi munculnya respons masyarakat dan
di sisi lain, bisa menjadi alternatif solusi bagi perbaikan kondisi masyarakat.
Apalagi jika mengingatkan bahwa perubahan kondisi pendidikan di Indonesia
umumnya diawali dari perubahan kebijakan politik dan hukum. Pengaruh faktor
hukum memiliki signifikansi yang senada dengan faktor politik. Bila kondisi
eksternal sosial budaya yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung bagi
pendidikan tidak diatur dalam perubahan hukum yang tegas, maka hal-hal tersebut
akan kian merusak moralitas bangsa. Semua gaktor ekseternal tadi mendorong
meski secara tidak langsung, munculnya perilaku kekerasan dalam pendidikan.
Sesungguhnya perilaku kekerasan tidak akan berlanjut bila pemicunya ditangkal
sembari dicarikan alternatif solusi bagi penyelesaian kasusnya.
Kekerasan dapat terjadi secara
internal, misalnya antara pihak sekolah atau antar pelajar atau mahasiswa.
Kekerasan akan muncul kepermukaan jika ada pemicu, dan akan mereda ketika
ditemukan solusi atasnya. Namun, solusi atau bisa juga respons, yang tidak
tuntas cenderung akan menimbulkan kekerasan susulan, dalam bentuk yang sama
atau sama sekali berbeda. Pemicu bersumber secara langsung dari kasus itu
sendiri. Tanpa pemicu, tidak akan muncul kekerasan, dan antar pelaku dengan
korban tidak akan terjadi apa-apa. Pemicu umumnya bersifat incidental dan
temporer. Disebut incidental karena umunya bersifat spesifik pada kasus
tertentu. Pemicu juga belum tentu menimbulkan efek-efek yang sama pada kasus
yang serupa. Disebut temporer karena bila bisa diselesaikan atau ditemukan
alternatif solusi, maka pemicu tidak sampai menimbulkan perilaku kekerasan.
Namun, jika kasus yang mncul tidak mendapat penyelesaian dari Kedua belah pihak, maka sangat
dimungkinkan terjaidnya perilaku kekerasan, bahkan kekerasan susulan. Pemicu
dapat dibedakan menjadi dua macam, internal dan eksternal. Pemicu internal
muncul dari dalam kasus itu sendiri, yakni bisa dari perilaku maupun korban.
Sementara pemicu eksternal muncul dari luar diri, seperti pada kasus-kasus
penyelewengan atau penyimpangan terhadap aturan, penggelapan dana, tidak
transparan, tidak demokratis, dan lain sebagainya. Tindakan preventif atau
saddzu al-dzariah pada prinsipnya dimaksudkan untuk meredam atau mencegah kemungkinan
munculnya perilaku kekerasan dan kerusakan. Modernisasi sosial dan budaya
masyarakat misalnya, dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai agama, moral, dan
adat istiadat. Sering tertangkapnya pelajar atau mahasiswa karena terlibat
dalam narkoba, ganja, putauw dan sejenisnya, merupakan kondisi eksternal
kehidupan sosial dan budaya yang muncul akibat longgarnya nilai-nilai agama,
moral dan budaya. Bila hal tersebut tidak dicegah, jelas akan menjadi potensi
bagi kekerasan. Semua permasalahan tersebut perlu diatur secara tegas dalam
hukum yang dilaksanakan secara konsisten. Tanpa hal itu, kondisi tersebut
berubah menjadi faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam pendidikan.
Kekerasan dalam pendidikan
didefinisikan sebagai sifat agresif pelaku yang melebihi kapasitas
kewenangannya dan menimbulkan pelanggaran hak bagi si korban. Kekerasan
sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia. Ditinjau dari tingkatannya,
perilaku kekerasan dapat di bedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan, yakni berupa potensi
kekerasan-kekesaran yang terjadi umumnya tertutup,kekerasan defensif, unjuk
rasa, pelecehan martabat, dan penekanan psikis. Kedua, kekerasan tingkat sedang, berupa perilaku kekerasan dalam
pendidikan itu sendiri. Kekerasan yang terjadi yakni kekerasan terbuka, terkait
dengan fisik, pelanggaran terhadap aturan sekolah atau kampus, serta membawa
symbol nama-nama sekolah. Ketiga
adalah kekerasan tingkat berat, yakni tindak criminal. Kekerasan berbentuk
kekerasan ofensif, ditangani oleh pihak yang berwajib, ditempuh melalui jalur
hukum, dan beberapa di luar wewenang pihak sekolah atau kampus. Dapat ditarik
beberapa indikator kekerasan. Pertama,
kekerasan yang bersifat terbuka, yakni kekerasan yang dilihat atau diamati
secara lansung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokkan massa, atau yang
berkaitan dengan fisik. Kedua,
kekerasan yang bersifat tertutup, yakni kekerasan yang tersembunyi atau tidak
dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol
lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif,
yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan,
pencurian, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Keempat, kekerasan yang bersifat defensive, yakni kekerasan yang
dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan
aksi demo atau lainnya.
Dari enam surat kabar yang dipilih
secara acak ditemukan 71 kasus potensi kekerasan atau kekerasan tingkat ringan.
Umumnya kasus-kasus tersebut terjadi karena sebab-sebab yang spesifik.
Misalnya, karena sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya
pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi penyelengaraan pendidikan,
masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya
momen tertentu, dan masalah lainnya. Ditemukan 93 kasus kekerasan yang terjadi
diberbagai kota yang masuk kategori kekerasan dalam pendidikan tingkat sedang.
Kasus tersebut meliputi, kasus antar pihak sekolah, kasus kekerasan antar
pelajar atau mahasiswa yakni kasus tawuran dan kasus membolos sekolah, kasus
kekerasan guru terhadap siswa, kasus kekerasan pelajar terhadap guru, kasus
kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat, dan kasus kekerasan oleh masyarakat.
Bila ditinjau dari sisi pelaku, korban dan pemicunya, kekerasan kategori
kriminalitas dalam pendidikan tingkat berat memiliki unsur-unsur yang sama
dengan dua karakter sebelumnya. Hal yang membedakannya adalah kekerasan yang
terjadi lebih berat siatnya. Umumnya kekerasan dalam kategori mengambil bentuk
tindakan agresif atau kekerasan offensive, baik secara individual maupun
kolektif (crowd). Tindakan criminal jelas meresahkan masyarakat karena
menimbulkan perasaan tidak nyaman di hati masyarakat. Kekerasan yang kerap
terjadi di masyarakat adalah pencabulan, penculikan, pencurian, dan pembunuhan.
Konsep Pendidikan Tanpa Kekerasan
Peace
Education sebagai sebuah alternatif memiliki makna yang beragam. Kata peace
yang berarti bebas, damai, persahabatan atau harmoni. Dalam bahasa Indonesia
kata damai diartikan sebagai tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman,
tenteram, tenang, dan keadaan tidak bermusuhan atau rukun. Dalam bahasa arab,
kata damai dan peace sepadan dengan kata amn (aman) dan salam (damai,tenteram).
Hal yang menarik adalah kata amn dan salam merupakan akar kata dari iman dan Islam.
Jelaslah bahwa kata peace atau damai berlaku umum dan merupakan lawan dari
violence atau kekerasan. Bila kekerasan bisa terjadi di seluruh aspek kehidupan
manusia, upaya untuk mencapai perdamaian juga meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Peace in education, kedamaian dalam pendidikan, pendidikan tanpa kekerasan
(nonviolence education) atau pendidikan damai (peace education). Komdisi damai
juga mengenal dua jenis sifat, yakni negatif dan positif. Kondisi damai negatif
muncul sebagai akibat dari ketiadaan kekerasan individu dan kekerasan
institusional. Sementara kondisi damai positif adalah terwujudnya kehidupan
makmur, keadilan sosial, kesetaraan jender, terjminnya hak-hak asasi manusia,
serta lainnya. Kedua jenis kekerasan
dan perdamaian tersebut merupakan kondisi yang saling berhadapan.
Peace Education, dalam kaliam
pembukaan Piagam PBB disebutkan bahwa tujuan dari didirikannya PBB adalah untuk
(1) “menyelamatkan generasi selanjutnya dari bencana perang.”; (2) “
mengokohkan kembali keyakinan dalam hal kehormatan dan martabat manusia dan
dalam persamaan hak antara pria dan wanita.”; (3) “membangun kondisi dalam
naungan keadilan dan penghormatan bagi kewajiban yang timbul dari kesepakatan
bersama dan sumber hukum international lainnya yang dapat dijaga.”; (4)
“mempromosikan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam bentuk
kebebasan secara lebih luas.” Konsep Peace Education dilambangkan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Dalam Deklarasi Universal HAM Pasan
1, 2, dan 3 yang intinya setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan, yang
diselenggrakan secara bebas. Pendidikan yang hendaknya meningkatkan kegiatan
PBB untuk memelihara perdamaian. Serta bagi orangtua memiliki hak untuk
menentukan pendidikan bagi anak-anaknya. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini
melalui berbagai kegiatan untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain,
pendidikan damai adalah upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar-mengajar
humanis, dan para pendidik damai yang memfasilitasi perkembangan manusia.
Pendidikan damai diarahkan untuk tujuan yang lebih luas, yakni membangun budaya
damai (culture of peace). UNESCO sendiri merupakan agen utama PBB dalam kerja
Dekade Interntional bagi Budaya Damai dan Tanpa Kekerasan Sedunia yang
diprogramkan dari 2001 hingga 2010. Sebagian besar kerja UNESCO di pusatkan pada
promosi pendidikan damai, HAM dan demokrasi.
Pendidikan damai merupakan proses
pendidikan yang memberdayakan masyarakat agar mampu memecahkan konflik dengan
cara kreatif, dan bukan cara kekerasan. Cara kreatif kadang kala dipandang
tidak menampakkan kejantanan, rasa jagoan dan semangat heroism, yang kemudian
mendorong penyelesaian koflik dengan jalan kekersan. Pendidikan kreatif perlu
dikembangkan agar timbul rasa toleransi, saling menghargai, rasa empati kepada
sesame dan juga menumbuhkan rasa percaya diri dan sikap sabar. Pendidikan damai
memadukan beragam tradisi pedagogis teori-teori pendidikans ecara bersamaan,
sambil mengembangkan inisiatif untuk memajukan manusia melalui proses belajar.
Pendidikan damai dilakukan secara dinamis, interdisipliner, dan multikultural.
Pendidikan damai mencakup seluruh aspek dalam perdamaian, diarahkan untuk
menumbuhkan tiga aspek utama- Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap- yang untuk
mengembangkan budaya damai secara global. Penjabaran tentang materi dan metode
dalam pendidikan damai adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan damai memuat materi tentang pengetahuan (knowledge) yang meliputi mawas diri,
pengakuan tentang prasangka, damai dan tanpa kekerasan, pencegahan dan analisa
konflik, budaya, ras, jender, agama, isu HAM, sikap tanggung jawab, dan lain
sebagainya. Kedua, muatan materi
keterampilan (skill) dalam pendidikan
damai berupa komunikasi, kegiatan reflektif dan pendengaran aktif, kerja sama,
empati, dan rasa harus, berpikir kritis dan kemampuan problem solving, penuh imajinasi, dan lain-lain. Ketiga, muatan materi nilai atau sika (attitude) dalam pendidikan damai meliputi
kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap toleransi, saling memahami antar
budaya, sensitif jender, sikap rekonsiliasi dan tanpa kekerasan, tanggung jawab
sosial, solidartitas dan lain sebagainya. Di ruang kelas, pendidikan damai
diarahkan untuk mengembangkan keterampilan, sikap dan pengetahuan anak melalui
metode belajar partisipatoris dan kooperatif, serta suasana saling toleransi,
peduli, dan menghargai. Melalui kegiatan dialog dan eksplorasi, guru bersama
murid melakukan petualangan belajat interaktif. Para peserta didik ditumbuhkan
dan diberdayakan untuk mampu berperilaku yang tanggung jawab atas perkembangan
diri dan prestasi mereka sendiri. Melalui bimbingan dan aksi sosial ini, para
pendidik damai mendemonstrasikan bahwa masih ada banyak aternatif selain
kekerasan. Pendidikan damai tidak mengajarkan peserta didik bagaimana cara
berpikir, melainkan bagaimana cara berpikir kritis. Salah satu cara mengatasi
tantangan pendidikan damai adalah membangun jembatan untuk mendukung setiap
pihak sebagai pelaku utama. Seorang pendidik damai pun tidak harus bekerja
sendiri, sebab masyarakat internasional bergerak secara aktif dan tumbuh
melalui berbagai jaringan, terbitan berkala, kampanye global, program nasional
maupun internasional. Masyarakat yang peduli, para pendidik dan para aktivis
dari berbagai usia di seluruh penjuru dunia saat ini sedang mempromosikan dan
membangun perdamaian lewat jalur pendidikan.
Model pendidikan damai, di samping
memiliki materi dan metode sebagaimana disebutkan tadi juga memiliki model
instruksional yang dapat diaplikasikan untuk semua jenjang pendidikan. Untuk
menerapkan model pembelajaran pendidikan damai ini, yang diperlukan adalah
mengolah kelas, melakukan interaksi belajar-mengajar, menyampaikan materi dan
metode, yang semuanya menerapkan pendekatan humanistic. Di antara pendidik
dengan peserta didik didorong untuk melakukan komunikasi multi-arah sehingga
tercipta suasana demokratis di dalam kelas, dan tidak didominasi oleh peran
guru secara berlebihan. Model ini bisa juga diterapkan untuk pendidikan Islam,
terlebih bila diingat bahwa agama banyak berbicara perihal perdamaian. Suasana
yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Dari sebuah
penelitian menunjukkan bahwa ligkungn sosial atau suasana kelas merupakan
penentu utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Bobbi dePorter
enam suasana yang harus terpenuhi dalam membangkitkan minat, motivasi, dan
keriangan anak mengikuti proses belajar. Pertama,
menumbuhkan niat belajar. Kedua,
menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian
sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ketiga, menciptakan suasana riang. Keempat, mengambil risiko. Kelima, menciptakan rasa saling
memiliki. Dan Keenam, menunjukkan
teladan yang baik.
Emosi positif adalah sikap jujur,
toleransi, saling mengahargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri,
sabar, dan sebagainya. Emosi positif umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja
dari interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di
tengah masyarakat. Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif
kepada peserta didiknya. Proses internalissi nilai positif adalah penciptaan
suasana, teladan, penerapan strategi belajar, dan interaksi sosial dalam
komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi
pembentukkan watak. Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui
pengalaman anak yang perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan
pengalaman yang dapat membangun watak. Pembangunan watak dan moral lebih
efektif diperoleh melalui cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus
nyata. Terdapat beberapa kualitas emosi positif dan imabangannya, yaitu. Pertama, jujur dan hukuman. Apabila
seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya
ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Hukuman ditempuh sebagai
alternative yang paling akhir, setelah proses bimbingan, sindiran, teguran,
peringatan lisan dan tertulis, dan skorsing sudah tidak efektif lagi sementara
kesalahan tergolong berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang lain. Kedua, sikap toleran. Tidak memaksakan
terjadinya bentrokkan. Inti dari toleransi adalah menghargai perbedaan, dan
membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya. Jadi toleransi adalah agree
in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap saling mengerti dan toleransi
ini. Toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai akan mudah
dicapai. Ketiga, empati versus
antipasti. Empati mewujud pada perasaan meupun pemahaman pemikiran seseorang
dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa
merasakan yang sebenarnya. Lawan dari simpati adalah antipasti, yakni perasaan
ketidaksenangan terhadap orang lain yang dapat berwujud kebencian. Padahal
kebencian memicu permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan. Untuk membangun
perdamaian dn mencegah kekerasan maka yang perlu dibangun adalah sikap empati
bukan antipasti. Keempat, optimis dan
apatis. Orang yang selalu merasa yakin dapat mengatasi masalah, meskipun tanpa
bantuan orang lain. Orang seperti ini dikatakan optimistic dalam memandang sesuatu.
Over-pessimistic dan over-optimistic merupakan gangguan jiwa
yang dapat diatasi dengan bimbingan dan pembiasaan. Orangtua di rumah atau guru
di sekolah perlu memberi motivasi kepada anak yang over-pessimistic, agar anak itu bisa berpandangan bahwa upaya yang
dilakukannya bukanlah hal yang sia-sia. Begitu pula halnya dengan orang yang over-optimistic bisa dibimbing untuk
bersikap realistis dalam menghadapi sesuatu. Kelima, bahasa cinta. Pendidikan damai dapat menanamkan rasa saling
kasih dan cinta antar sesama. Yang berlangsung kemudia adalah sentuhan cinta
dibarengi dengan semangat mendidik, atau mendidik yang dilakukan dengan penuh
kasih saying. Keenam, bersikap adil.
Kebijakan yang tidak adil berpotensi menimbulkan kekerasan. Sepanjang tidak ada
perubahan kebijakan, ketidakadilan akan memicu kekerasan demi kekerasan. Di
sinilah letak mahalnya perdamaian, karena perdamaian mensyaratkan kebijakan
yang adil.
Peace is Human Right, pada tahun
2000 telah dicanangkan sebagai tahun internasional budaya damai, dan decade
2001-2010 sebagai Dekade Internasional bagi Budaya Damai tanpa Kekerasan
terhadap Anak Sedunia. Perdamaian bukanlah semata-mata tiadanya kekerasan atau
konflik, melainkan perdamaian perlu kondisi damai positif, proses keterlibatan
yang dinamis yang mendorong dilakukannya dialog, sementara konflik diselesaikan
dalam suasana saling memahami dan melalui kerja sama.
Budaya damai atau culture of peace adalah sekumpulan
nilai, sikap, tradisi, perilaku dan gaya hidup yang didasarkan pada hal-hal
berikut. Penghormatan atas kehidupan, penghormatan yang penuh terhadap
prinsip-prinsip kekuasaan, penghormtan yang penuh bagi dan peningkatan terhadap
semua hak, memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik, berupaya memenuhi
kebutuhan pembangunan, menghargai dan meningkatkan hak untuk pengembangan,
menghargai dan meningkatkan persamaan hak dan peluang bagi pria maupun wanita,
menghargai dan meningkatkan hak semua orang untuk bebas menyatakan pendapat,
dan mengikuti prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi dan
lain-lain. Perdamaian merupakan harapan dari semua orang, maka pada hakikatnya
actor perdamaian ini juga dilakukan oleh semua orang. Budaya damai telah
menjadi program badan nasional dan internasional, maka lembaga semisal PBB, UNESCO,
pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil lainnya juga ikut berperan dalam menjaga
tegaknya perdamaian tersebut melalui berbagai kebijakan. Budaya damai ini
berada diperankan terutama oleh para orangtua, guru, politisi, jurnalis, badan
dan kelompok keagamaan dan seluruh masyarakat yang memiliki profesi apapun.
Pendidikan pada semua jenjang merupakan salah satu sarana utama untuk membangun
budaya damai. Dengan demikian inti dari budaya damai ini adalah penghormatan
atas nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh dalam bentuk pengakuan atas hak
asasi manusia atau HAM. Terdapat penyebab munculnya kekerasan yang mengarah
pada HAM. Pertama, adalah aspek
interaksi sosial dalam masyarakat majemuk. Kedua,
pelanggaran HAM terjadi karena
adanya keinginan orang untuk mendapatkan hak tanpa memperhatikan hak orang
lain. Ketiga, pelanggaran HAM yang
muncul akibat kesenjangan sosial-ekonomi, budaya dan politik yang terlalu
lebar, sementara win win solution atau
jalan kompromi menemui jalan buntu. Keempat,
kekerasan dan pelanggaran HAM bisa akibatkan oleh kebijakan yang repressive, sementara kehendak dan
pendapat tidak disalurkan dengan baik.
Education for all atau EFA adalah
seruan untuk komitmen menyeluruh dalam Rancangan Kerja Dakar untuk Aksi. Seruan
EFA adalah mengajak semua Negara untuk bertanggung jawab bagi terpenuhinya
pendidikan untuk semua menuntut versi yang mereka tentukan sendiri. EFA
memiliki beberapa tujuan, yakni: mempromosikan, mempertajam, mengawasi, dan
memupuk yang sebagian besar mengenai hal yang bersangkutan dengan
berlangsungnya pendidikan yang baik. Dari data yang sudah disebutkan di atas,
tampaknya pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi dalam menangani pembangunan
bidang pendidikan. Peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan kesejahteraan
guru, perbaikan rasio guru dan siswa, dan pemerataan pendidikan, terutama untuk
jenjang SLTP ke atas, masih perlu harus ditinggalkan. Hal yang terakhir
tersebut terasa mendesak mengingat program wajib belajar 9 tahun telah
dicanangkan sebagai komitmen pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan dasar
bagi setiap warga Negara.
Liberalisme dan demokrasi pendidikan.
Kebebasan memiliki berbagai macam bentuk. Dalam politik, kebebasan bisa berarti
sebagai kemerdekaan dari penjajahan, pengaruh dan dominasi asing. Dalam ideology,
kebebasan berarti bebas menyatakan ide, pendapat, paham atau aliran pemikiran
tertentu. Bahkan kebebasan itu sendiri bisa menjadi sebuah ideology tersendiri,
sebutan liberalisme misalnya. Dalam pendidikan liberal, metodologi
pengajarannya mengutamakan keterlibatan peserta didik sebesar-besarnya dalam
bentuk metode partisipatoris – misalnya metode diskusi, resilitasi,
eksperimentasi, inquiry, discovery dan
lain-lain – yang dapat mengekspresikan kebebasan berpikir seseorang. Dalam
kebebasan terdapat keseimbangan antarahak dan kewajiban. Di titik inilah
berlangsung keterpaduan antara kebebasan dengan demokrasi. Inti dari demokrasi
adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan, musyawarah dan tanggung jawab.
Demokrasi pendidikan merupakan proses pembelajaran seluruh civitas akademika
untuk memajukan pendidikan. Pendidikan yang demokratis berarti melibatkan murid
secara aktif dalam seluruh proses pendidikannya. Pendidikan damai pada dasarnya
mengembangkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi seperti ini. Sangat penting
pemahaman tentang pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup damai melalui
pemberdayaan emosi positif dan internalisasi nilai-nilai perdamaian dalam
keseluruhan proses pendidikan.
Perspektif Pendidikan Islam
Pertama,
Islam merupakan akar kata aslama-yuslimu-Islaman, yang berarti khadla’a atau inqaada
yaitu tunduk, pasrah, menyerah, ketundukan atau penyerahan diri. Hakikat muslim
adalah orang yang tidak saja menyerah secara total kepada kehendak Allah dengan
mematuhi kodrat-iradat Allah dan fitrah kemanusiaan yang digariskan kepadanya,
melainkan juga mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi larangannya. Kedua, kata Islam berasal dari kata salima artinya selamat. Maksudnya
selamat dunia akhirat. Ketiga, kata Islam
berasal dari kata salimun artinya
damai, yakni damai dengan Allah, damai dengan makhluk, dan damai dengan sesama.
Damai dengan Allah tidak lain adalah taat kepada Allah dan tidak bermaksiat
kapadaNya. Damai dengan sesame berarti hidup rukun dengan sesama manusia, tidak
berbuat jahat, bahkan berbuat baik kepada sesame manusia tanpa memandang perbedaan
agama, warna kulit, ras, seks, suku, bangsa, bahasa, keturunan, kekayaan,
pangkat atau kedudukan, dan lain sebagainya. Baik makna maupun istilah di atas
menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memiliki prinsip nilai luhur yang
menghargai kemanusiaan, sesuai dengan fitrahnya, dan mengutamakan keselamatan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian. Dari uraian di atas, ada beberapa
prinsip dalam Islam yang relevan untuk disampaikan di dalam kajian ini. Pertama, sumber normative Islam adalah
Al-Quran dan Hadis. Kedua, ajaran
pokok Islam meliputi keimanan (aqidah), hukum (syari’ah), dan moral Islami
(akhlak). Ketiga, sumber ajaran Islam
sudah semestinya diaktualisasikan dalam kehidupan. Bentuk aktualisasi sumber
dan ajaran Islam dari seseorang terhadap sesama manusia terwujud dalam bentuk
solidritas sosial, toleransi, demokrasi, saling menghargai, membantu,
gotong-royong, dan lain sebagainya. Bentuk aktualisasi sumber dan ajaran Islam
oleh seseorang terhadap keluarga terwujud dalam bentuk upaya orang tua mendidik
putra-putrinya dengan sebaik-baiknya. Termasuk di antara aktualisasi ajaran Islam
terhadap masyarakat adalah berbuat baik dengan tetangga, menghormati tamu,
mencintai saudara, menjalin silaturrahmi dengan sesama, saling tolong-menolong
dan lain sebagainya. Bentuk aktualisasi sumber dan ajaran Islam oleh seseorang
terhadap alam semesta terwujud melalui upaya mengelola alam, menjaga dan
melestarikannya dari kepunahan dan kerusakan. Rasulullah SAW pun terlibat dalam
perang, dan semuanya dilakukan untuk membela diri, bukan menyerang atau
tindakan agresi. Itulah sebabnya jihad pada periode Mekah disebut juga dengan jihad al-silmi atau jihad damai.
Perlu
ditegaskan bahwa dalam kajian ini, ajaran Islam dibedakan dengan pendidikan Islam.
Disebut ajaran Islam bila sumbernya adalah Al-Quran dan Hadis. Materi ajaran Islam
dengan demikian mencakup apa yang disampaikan oleh Al-Quran dan Hadis. Pada
bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa prinsip ajaran silam meliputi tiga hal
utama, yakni aqidah, syari’ah dan akhlak. Ini berarti bahwa cakupan materi
ajaran Islam meliputi masalah keimanan atau keyakinan, hukum yang terkait
dengan ibadah dan muamalah, serta perilaku manusia, baik terhadap Tuhannya,
Rasulnya, dirinya sendiri, masyarakatnya, lingkungannya maupun terhadap alam
semesta. Sikap ini tidak menyalahi prinsip al-muhafadzah
ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara hal
yang lama yang baik sambil mengambil hal baru yang lebih baik). Berkenaan
dengan hal tersebut, berikut ini disarikan model metode pembelajaran yang
disampaikan oleh Al-Quran dan Hadis. Pertama,
metode amaliyah atau praktek. Ajaran Islam
tidak cukup diberikan dengan nasihat, melanikan memerlukan amal nyata sehingga
esensi ajaran Islam tidak dipahami sekedar sebagai symbol, namun terbentuk
dalam pribadi manusia secara totalitas. Kedua,
metode amar ma’ruf nahi munkar. Kebanyakan
peilaku kekerasan yang ada di berbagai Negara, bukan terjadi karena substansi
kekerasannya, melainkan karena fungsi manusia dalam menjalankan yang makruf dan larangan yang munkar tidak berjalan secara efektif. Implikasi
metode amar ma’ruf nahi munkar dalam
pendidikan bisa terwujud melalui penegakan aturan, tata tertib, kode etik, dan
disiplin civitas akademika. Guru misalnya, tidak tidak bersikap otoriter
terhadap murid, dan murid tidak menyalahi tata tertib sekolah. Ketiga, metode nasihat. Sesungguhnya
Al-Quran datang dengan membawa nasihat dan pelajaran yang jelas bagi manusia. “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” Keempat, metode kisah. Dalam kisah sering kali
terdapat perumpamaan atau ibarat, dank arena itu metode ini bisa juga dinamai
dengan metode amtsal atau ibrah. Kelima, metode uswatun hasanah (metode demonstrasi). Diantara factor-faktor yang
berpengaruh bagi pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari adalah
keteladanan. Keenam, metode hiwar (metode tanya jawab, dialog,
diskusi, debat dan sejenisnya). Metode ini menumbuhkan sikap kritis dan saling
pengertian. Ketujuh, metode lain, seperti rihlah
ilmiyah, tarhib wa targhib, dan lain sebagainya. Metode harapan dan ancaman
atau tarhib wa targhib juga sering
dimuat dalam Al-Quran maupun Hadis, sebab salah satu fungsi Keduanya bagi manusia adalah sebagai
kabar gembira dan ancaman.
Pendidikan
Agama Islam (PAI) memiliki peran penting dalam tema HAM ini. PAI berwawasan HAM
merupakan upaya preventif dalam menangani konflik dan kekerasan, seperti
terjadinya kerusuhan massal, ketegangan sosial dan pelanggaran HAM. Dapat diuraikan
secara singkat beberapa hak yang dicakup dalam Deklarasi Kairo. Pertama, hak untuk hidup dan tidak
dilakukan semena-mena. Kedua, hak
bebas untuk memilih agama dan keyakinan. Ketiga,
hak berpendapat dan berkumpul. Keempat,
hak memiliki harta, Kelima, hak
memperoleh kehormatan dan reputasi.
PAI
berwawasan demokrasi. Inti dari demokrasi adalah penghormatan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, tanpa demokrasi kreativitas manusia tidak mungkin
berkembang. Baik secara normative maupun empiris, Islam sama sekali tidak
anti-demokrasi. Pertama, kaidah ta’aruf (saling mengenal). Kedua, kaidah syura (musyawarah).
Ketiga, kaidah ta’awun (kerja sama). Keempat,
mashlahah atau menguntungkan
masyarakat. Kelima, kaidal ‘adil atau adil. Keenam, kaidah taghyir atau
perubahan.
Islam
memandang kualitas emosi positif atau akhlak
al-karimah seperti menyelesaikan persoalan dengan sabar, mencintai
kebaikan, jujur dan bersikap pemurah dan santun, merupakan ajakan yang kondusif
bagi upaya perdamaian serta menghindari kekerasan. Sebaliknya, kualitas emosi
negatif atau akhlak al-dzamimah,
seperti dhalim, iri hati, berdusta
dan sombong, akan memperkeruh resolusi konflik, bahkan dapat menimbulkan
permusuhan dan kekerasan. Melalui akhlak
positif, Islam mendamaikan dunia.
Daftar Pustaka
Rahman
Assegaf, Abd. 2003. Pendidikan Tanpa
Kekerasa. Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar