Sabtu, 27 Juni 2015

Contoh Book Report "Pendidikan Tanpa Kekerasan" Drs. Abd. Rahman Assegaf, M.A.


Pendidikan Tanpa Kekerasan
Drs. Abd. Rahman Assegaf, M.A.
Diterbitkan oleh:
Penerbit Tiara Wacana Yogya
Yogyakarta: 2003

Bab I

Pendahuluan


Tak seorang pun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Terdapat beberapa beberapa asumsi, kekerasan dalam pendidikan bisa muncul sebagai akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hubungan, terutama fisik. Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Kekerasan dalam pendidikan mungkin pula dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa. Kekerasan bisa jadi merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami oergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap jalan pintas. Dan kekerasan mungkin pula dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Kekerasan dalam pendidikan merupakan perilaku melampaui batas kode etik dan aturan dalam pendidikan, baik dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang. Kekerasan dalam pendidikan harus dicegah. Sebagaimana kekerasan bila timbul karena ada kondisi yang mempengaruhinya, maka untuk menghentikan kekerasan pun dengan cara meminimalisir akar persoalan pemicunya tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak sengaja diselesaikan dapat memunculkan kekerasan susulan.
Tujuan dari kajian ini yaitu, memahami tipologi perilaku kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, khususnya yang terjadi pada periode pasca reformasi di mana kasus kekerasan dalam pendidikan bermunculan secara intensif. Lalu, mencari kondisi-kondisi yang menjadi latar belakang dari munculnya kekerasan dalam pendidikan. Serta memberikan masukan atau usulan kebijakan public guna membenahi kondisi pendidikan agar menjadi lebih humanis, yakni melalui konsep pendidikan tanpa kekerasan. Dan meninjau masalah pendidikan tanpa kekerasan dalam perspektif pendidikan Islam.

Bab II

Pembahasan


Kekerasan dalam Pendidikan
Kondisi internal pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh langsung pada perilaku pelajar atau mahasiswa dan para pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Untuk berbicara tentang kekerasan dalam pendidikan, terlebih dahulu perlu dikatakan kondisi internal dunia tersebut. Sampai saat ini terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan dengan kondisi riil di lapangan. Apa yang dinyatakan pemerintah sebagai “beres”, pada kenyataannya bisa amburadul, dikarenakan tidak semua kebijakan dapat dijalankan secara merata dengan kapasitas yang sama oleh tiap satuan pendidikan atau pihak sekolah. Terlebih bila sekolah yang berada di daerah terpencil, atau daerah kerusuhan atau konflik.
            Terdapat upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam membenahi kondisi pendidikan nasional. Misalnya pada orde baru, pemerintah telah mengeluarkan biaya sekitar 77,7 milyar sebagai dana pembangunan untuk sektor pendidikan dan kebudayaan. Hingga akhir orde baru, terdapat peningkatan dalam Angka Partisipasi Kasar (APK) di semua tingkatan sekolah, baik itu SD, SLTP, SLTA maupun PT. Di balik kemajuan pesat tersebut ada beberapa keprihatinan yang riil khususnya di tingkat sekolah dasar, kondisi pendidikan kita sesungguhnya amat memprihatinkan. Contohnya di beberapa kota, ribuan gedung SD rusak, bangunan yang kondisinya parah, bangunan yang sudah roboh alias rata dengan tanah. Adapula bangunan yang rusak parah, dan akibat kekurangan murid, 470 SD inpresse-Jateng ditutup. Kekurangan guru juga termasuk permasalahan, karena banyak pencari kerja yang tidak berminat menjadi tenaga kontrak dan karena adanya kebijakan zero growth. Sementara dana pemeliharaan teramat sedikit, itupun realisasinya kadang kala diselewengkan kaum tertentu. Kualitas guru di Indonesia paling rendah se Asia Pasifik, diakibatkan karena kurangnya perhatian pemerintah akan dunia pendidikan. Demikian pula dengan wajah siswa SD, terlihat bahwa keterampilan membaca di Indonesia berapa pada tingkat terendah se Asia Timur, terkait dengan perpustakaan yang sedikit di sekolah seluruh Indonesia. Angka drop out yang tinggi, para lulusan SD-SLTP yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, disebabkan karena pernikahan dini, kesulitan biaya, kemiskinan dan kapastias klas atau jumlah murid per klas. Dampak negatif dari krisis ekonomi yang berkepanjangan juga menimpa para guru. Tingkat kesejahteraan guru yang tergolong rendah, serta menimbulkan terjadi penyimpangan, dan banyak pula yang memiliki pekerjaan sampingan. Beberapa kebijakan telah ditempuh dalam mengatasi hal-hal tersebut. Kebijakan untuk meningkatkan anggaran pendidikan merupakan langkah yang tepat, meskipun tidak dapat merubah langsung kondisi pendidikan di Indonesia dikarenakan memang parahnya kondisi pendidikan di Indonesia. Di samping masalah kesejahteraan, kondisi kesehatan anak sekolah juga amat memperihatinkan. Siswa menderita kekurangan yodium, menderita asma, juga rawan terjangkit demam berdarah. Jumlah penerimaan barupun berkurang.
            Kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang menjadi faktor tidak langsung timbulnya potensi kekersan dalam pendidikan. Tampak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, di mana pelaku pendidikan berada di dalamnya. Masalah narkoba, tayangan kekerasan di tv dan media massa, pornografi dan pornoaksi, miras, pergaulan bebas, serta tindak criminal merupakan masalah-masalah rasio-kultural yang bisa melibatkan pelaku yang terkait dengan symbol-simbol dan citra pendidikan. Hasil penelitian membuktikan bahwa tv berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku anak. Perkembangan teknologi informasi dan eletronika telah merubah pola komunikasi dan interaksi antar individu. Hadirnya teknologi muti-media ini sesungguhnya menjadikan proses pendidikan jauh lebih menyenangkan, namun aspek teknologi tersebut juga mengandung hal-hal yang bila diukur dari kacamata agama, moral atau budaya, cenderung merusak. Faktor sosial budaya lainnya adalah masalah pergaulan. Pergaulan bebas merupakan masalah sosial yang tentu akan merambah dunia pendidikan pula, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Kondisi eksternal pendidikan yang memperihatinkan tersebut meniscayakan pentingnya control sosial, nilai budaya dan agama, agar ekses modernisasi tidak merusak moralitas bangsa. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi secara tidak langsung pleh kondisi eksternal ini. Padahal dengan banyaknya kasus kekerasan tersebut bukan saja menodai agama, melainkan juga budaya, kondisi politik dan hukum juga dapat mempengaruhi pendidikan. Kedua hal tersebut terwujud dalam kebijakan pemerintah. Suatu kebijakan disatu sisi, bisa menjadi faktor eksternal yang berpotensi bagi munculnya respons masyarakat dan di sisi lain, bisa menjadi alternatif solusi bagi perbaikan kondisi masyarakat. Apalagi jika mengingatkan bahwa perubahan kondisi pendidikan di Indonesia umumnya diawali dari perubahan kebijakan politik dan hukum. Pengaruh faktor hukum memiliki signifikansi yang senada dengan faktor politik. Bila kondisi eksternal sosial budaya yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung bagi pendidikan tidak diatur dalam perubahan hukum yang tegas, maka hal-hal tersebut akan kian merusak moralitas bangsa. Semua gaktor ekseternal tadi mendorong meski secara tidak langsung, munculnya perilaku kekerasan dalam pendidikan. Sesungguhnya perilaku kekerasan tidak akan berlanjut bila pemicunya ditangkal sembari dicarikan alternatif solusi bagi penyelesaian kasusnya.
            Kekerasan dapat terjadi secara internal, misalnya antara pihak sekolah atau antar pelajar atau mahasiswa. Kekerasan akan muncul kepermukaan jika ada pemicu, dan akan mereda ketika ditemukan solusi atasnya. Namun, solusi atau bisa juga respons, yang tidak tuntas cenderung akan menimbulkan kekerasan susulan, dalam bentuk yang sama atau sama sekali berbeda. Pemicu bersumber secara langsung dari kasus itu sendiri. Tanpa pemicu, tidak akan muncul kekerasan, dan antar pelaku dengan korban tidak akan terjadi apa-apa. Pemicu umumnya bersifat incidental dan temporer. Disebut incidental karena umunya bersifat spesifik pada kasus tertentu. Pemicu juga belum tentu menimbulkan efek-efek yang sama pada kasus yang serupa. Disebut temporer karena bila bisa diselesaikan atau ditemukan alternatif solusi, maka pemicu tidak sampai menimbulkan perilaku kekerasan. Namun, jika kasus yang mncul tidak mendapat penyelesaian dari Kedua belah pihak, maka sangat dimungkinkan terjaidnya perilaku kekerasan, bahkan kekerasan susulan. Pemicu dapat dibedakan menjadi dua macam, internal dan eksternal. Pemicu internal muncul dari dalam kasus itu sendiri, yakni bisa dari perilaku maupun korban. Sementara pemicu eksternal muncul dari luar diri, seperti pada kasus-kasus penyelewengan atau penyimpangan terhadap aturan, penggelapan dana, tidak transparan, tidak demokratis, dan lain sebagainya. Tindakan preventif atau saddzu al-dzariah pada prinsipnya dimaksudkan untuk meredam atau mencegah kemungkinan munculnya perilaku kekerasan dan kerusakan. Modernisasi sosial dan budaya masyarakat misalnya, dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai agama, moral, dan adat istiadat. Sering tertangkapnya pelajar atau mahasiswa karena terlibat dalam narkoba, ganja, putauw dan sejenisnya, merupakan kondisi eksternal kehidupan sosial dan budaya yang muncul akibat longgarnya nilai-nilai agama, moral dan budaya. Bila hal tersebut tidak dicegah, jelas akan menjadi potensi bagi kekerasan. Semua permasalahan tersebut perlu diatur secara tegas dalam hukum yang dilaksanakan secara konsisten. Tanpa hal itu, kondisi tersebut berubah menjadi faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam pendidikan.
            Kekerasan dalam pendidikan didefinisikan sebagai sifat agresif pelaku yang melebihi kapasitas kewenangannya dan menimbulkan pelanggaran hak bagi si korban. Kekerasan sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia. Ditinjau dari tingkatannya, perilaku kekerasan dapat di bedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan, yakni berupa potensi kekerasan-kekesaran yang terjadi umumnya tertutup,kekerasan defensif, unjuk rasa, pelecehan martabat, dan penekanan psikis. Kedua, kekerasan tingkat sedang, berupa perilaku kekerasan dalam pendidikan itu sendiri. Kekerasan yang terjadi yakni kekerasan terbuka, terkait dengan fisik, pelanggaran terhadap aturan sekolah atau kampus, serta membawa symbol nama-nama sekolah. Ketiga adalah kekerasan tingkat berat, yakni tindak criminal. Kekerasan berbentuk kekerasan ofensif, ditangani oleh pihak yang berwajib, ditempuh melalui jalur hukum, dan beberapa di luar wewenang pihak sekolah atau kampus. Dapat ditarik beberapa indikator kekerasan. Pertama, kekerasan yang bersifat terbuka, yakni kekerasan yang dilihat atau diamati secara lansung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokkan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Kedua, kekerasan yang bersifat tertutup, yakni kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ketiga, kekerasan yang bersifat agresif, yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Keempat, kekerasan yang bersifat defensive, yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo atau lainnya.
            Dari enam surat kabar yang dipilih secara acak ditemukan 71 kasus potensi kekerasan atau kekerasan tingkat ringan. Umumnya kasus-kasus tersebut terjadi karena sebab-sebab yang spesifik. Misalnya, karena sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi penyelengaraan pendidikan, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya. Ditemukan 93 kasus kekerasan yang terjadi diberbagai kota yang masuk kategori kekerasan dalam pendidikan tingkat sedang. Kasus tersebut meliputi, kasus antar pihak sekolah, kasus kekerasan antar pelajar atau mahasiswa yakni kasus tawuran dan kasus membolos sekolah, kasus kekerasan guru terhadap siswa, kasus kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat, dan kasus kekerasan oleh masyarakat. Bila ditinjau dari sisi pelaku, korban dan pemicunya, kekerasan kategori kriminalitas dalam pendidikan tingkat berat memiliki unsur-unsur yang sama dengan dua karakter sebelumnya. Hal yang membedakannya adalah kekerasan yang terjadi lebih berat siatnya. Umumnya kekerasan dalam kategori mengambil bentuk tindakan agresif atau kekerasan offensive, baik secara individual maupun kolektif (crowd). Tindakan criminal jelas meresahkan masyarakat karena menimbulkan perasaan tidak nyaman di hati masyarakat. Kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat adalah pencabulan, penculikan, pencurian, dan pembunuhan.
Konsep Pendidikan Tanpa Kekerasan
Peace Education sebagai sebuah alternatif memiliki makna yang beragam. Kata peace yang berarti bebas, damai, persahabatan atau harmoni. Dalam bahasa Indonesia kata damai diartikan sebagai tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman, tenteram, tenang, dan keadaan tidak bermusuhan atau rukun. Dalam bahasa arab, kata damai dan peace sepadan dengan kata amn (aman) dan salam (damai,tenteram). Hal yang menarik adalah kata amn dan salam merupakan akar kata dari iman dan Islam. Jelaslah bahwa kata peace atau damai berlaku umum dan merupakan lawan dari violence atau kekerasan. Bila kekerasan bisa terjadi di seluruh aspek kehidupan manusia, upaya untuk mencapai perdamaian juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Peace in education, kedamaian dalam pendidikan, pendidikan tanpa kekerasan (nonviolence education) atau pendidikan damai (peace education). Komdisi damai juga mengenal dua jenis sifat, yakni negatif dan positif. Kondisi damai negatif muncul sebagai akibat dari ketiadaan kekerasan individu dan kekerasan institusional. Sementara kondisi damai positif adalah terwujudnya kehidupan makmur, keadilan sosial, kesetaraan jender, terjminnya hak-hak asasi manusia, serta lainnya. Kedua jenis kekerasan dan perdamaian tersebut merupakan kondisi yang saling berhadapan.
            Peace Education, dalam kaliam pembukaan Piagam PBB disebutkan bahwa tujuan dari didirikannya PBB adalah untuk (1) “menyelamatkan generasi selanjutnya dari bencana perang.”; (2) “ mengokohkan kembali keyakinan dalam hal kehormatan dan martabat manusia dan dalam persamaan hak antara pria dan wanita.”; (3) “membangun kondisi dalam naungan keadilan dan penghormatan bagi kewajiban yang timbul dari kesepakatan bersama dan sumber hukum international lainnya yang dapat dijaga.”; (4) “mempromosikan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam bentuk kebebasan secara lebih luas.” Konsep Peace Education dilambangkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Dalam Deklarasi Universal HAM Pasan 1, 2, dan 3 yang intinya setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan, yang diselenggrakan secara bebas. Pendidikan yang hendaknya meningkatkan kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian. Serta bagi orangtua memiliki hak untuk menentukan pendidikan bagi anak-anaknya. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar-mengajar humanis, dan para pendidik damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Pendidikan damai diarahkan untuk tujuan yang lebih luas, yakni membangun budaya damai (culture of peace). UNESCO sendiri merupakan agen utama PBB dalam kerja Dekade Interntional bagi Budaya Damai dan Tanpa Kekerasan Sedunia yang diprogramkan dari 2001 hingga 2010. Sebagian besar kerja UNESCO di pusatkan pada promosi pendidikan damai, HAM dan demokrasi.
            Pendidikan damai merupakan proses pendidikan yang memberdayakan masyarakat agar mampu memecahkan konflik dengan cara kreatif, dan bukan cara kekerasan. Cara kreatif kadang kala dipandang tidak menampakkan kejantanan, rasa jagoan dan semangat heroism, yang kemudian mendorong penyelesaian koflik dengan jalan kekersan. Pendidikan kreatif perlu dikembangkan agar timbul rasa toleransi, saling menghargai, rasa empati kepada sesame dan juga menumbuhkan rasa percaya diri dan sikap sabar. Pendidikan damai memadukan beragam tradisi pedagogis teori-teori pendidikans ecara bersamaan, sambil mengembangkan inisiatif untuk memajukan manusia melalui proses belajar. Pendidikan damai dilakukan secara dinamis, interdisipliner, dan multikultural. Pendidikan damai mencakup seluruh aspek dalam perdamaian, diarahkan untuk menumbuhkan tiga aspek utama- Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap- yang untuk mengembangkan budaya damai secara global. Penjabaran tentang materi dan metode dalam pendidikan damai adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan damai memuat materi tentang pengetahuan (knowledge) yang meliputi mawas diri, pengakuan tentang prasangka, damai dan tanpa kekerasan, pencegahan dan analisa konflik, budaya, ras, jender, agama, isu HAM, sikap tanggung jawab, dan lain sebagainya. Kedua, muatan materi keterampilan (skill) dalam pendidikan damai berupa komunikasi, kegiatan reflektif dan pendengaran aktif, kerja sama, empati, dan rasa harus, berpikir kritis dan kemampuan problem solving, penuh imajinasi, dan lain-lain. Ketiga, muatan materi nilai atau sika (attitude) dalam pendidikan damai meliputi kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap toleransi, saling memahami antar budaya, sensitif jender, sikap rekonsiliasi dan tanpa kekerasan, tanggung jawab sosial, solidartitas dan lain sebagainya. Di ruang kelas, pendidikan damai diarahkan untuk mengembangkan keterampilan, sikap dan pengetahuan anak melalui metode belajar partisipatoris dan kooperatif, serta suasana saling toleransi, peduli, dan menghargai. Melalui kegiatan dialog dan eksplorasi, guru bersama murid melakukan petualangan belajat interaktif. Para peserta didik ditumbuhkan dan diberdayakan untuk mampu berperilaku yang tanggung jawab atas perkembangan diri dan prestasi mereka sendiri. Melalui bimbingan dan aksi sosial ini, para pendidik damai mendemonstrasikan bahwa masih ada banyak aternatif selain kekerasan. Pendidikan damai tidak mengajarkan peserta didik bagaimana cara berpikir, melainkan bagaimana cara berpikir kritis. Salah satu cara mengatasi tantangan pendidikan damai adalah membangun jembatan untuk mendukung setiap pihak sebagai pelaku utama. Seorang pendidik damai pun tidak harus bekerja sendiri, sebab masyarakat internasional bergerak secara aktif dan tumbuh melalui berbagai jaringan, terbitan berkala, kampanye global, program nasional maupun internasional. Masyarakat yang peduli, para pendidik dan para aktivis dari berbagai usia di seluruh penjuru dunia saat ini sedang mempromosikan dan membangun perdamaian lewat jalur pendidikan.
            Model pendidikan damai, di samping memiliki materi dan metode sebagaimana disebutkan tadi juga memiliki model instruksional yang dapat diaplikasikan untuk semua jenjang pendidikan. Untuk menerapkan model pembelajaran pendidikan damai ini, yang diperlukan adalah mengolah kelas, melakukan interaksi belajar-mengajar, menyampaikan materi dan metode, yang semuanya menerapkan pendekatan humanistic. Di antara pendidik dengan peserta didik didorong untuk melakukan komunikasi multi-arah sehingga tercipta suasana demokratis di dalam kelas, dan tidak didominasi oleh peran guru secara berlebihan. Model ini bisa juga diterapkan untuk pendidikan Islam, terlebih bila diingat bahwa agama banyak berbicara perihal perdamaian. Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa ligkungn sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Bobbi dePorter enam suasana yang harus terpenuhi dalam membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses belajar. Pertama, menumbuhkan niat belajar. Kedua, menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ketiga, menciptakan suasana riang. Keempat, mengambil risiko. Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Dan Keenam, menunjukkan teladan yang baik.
            Emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling mengahargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya. Emosi positif umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat. Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif kepada peserta didiknya. Proses internalissi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan, penerapan strategi belajar, dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukkan watak. Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat membangun watak. Pembangunan watak dan moral lebih efektif diperoleh melalui cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Terdapat beberapa kualitas emosi positif dan imabangannya, yaitu. Pertama, jujur dan hukuman. Apabila seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Hukuman ditempuh sebagai alternative yang paling akhir, setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan tertulis, dan skorsing sudah tidak efektif lagi sementara kesalahan tergolong berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang lain. Kedua, sikap toleran. Tidak memaksakan terjadinya bentrokkan. Inti dari toleransi adalah menghargai perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya. Jadi toleransi adalah  agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap saling mengerti dan toleransi ini. Toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai akan mudah dicapai. Ketiga, empati versus antipasti. Empati mewujud pada perasaan meupun pemahaman pemikiran seseorang dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa merasakan yang sebenarnya. Lawan dari simpati adalah antipasti, yakni perasaan ketidaksenangan terhadap orang lain yang dapat berwujud kebencian. Padahal kebencian memicu permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan. Untuk membangun perdamaian dn mencegah kekerasan maka yang perlu dibangun adalah sikap empati bukan antipasti. Keempat, optimis dan apatis. Orang yang selalu merasa yakin dapat mengatasi masalah, meskipun tanpa bantuan orang lain. Orang seperti ini dikatakan optimistic dalam memandang sesuatu. Over-pessimistic dan over-optimistic merupakan gangguan jiwa yang dapat diatasi dengan bimbingan dan pembiasaan. Orangtua di rumah atau guru di sekolah perlu memberi motivasi kepada anak yang over-pessimistic, agar anak itu bisa berpandangan bahwa upaya yang dilakukannya bukanlah hal yang sia-sia. Begitu pula halnya dengan orang yang over-optimistic bisa dibimbing untuk bersikap realistis dalam menghadapi sesuatu. Kelima, bahasa cinta. Pendidikan damai dapat menanamkan rasa saling kasih dan cinta antar sesama. Yang berlangsung kemudia adalah sentuhan cinta dibarengi dengan semangat mendidik, atau mendidik yang dilakukan dengan penuh kasih saying. Keenam, bersikap adil. Kebijakan yang tidak adil berpotensi menimbulkan kekerasan. Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan, ketidakadilan akan memicu kekerasan demi kekerasan. Di sinilah letak mahalnya perdamaian, karena perdamaian mensyaratkan kebijakan yang adil.
            Peace is Human Right, pada tahun 2000 telah dicanangkan sebagai tahun internasional budaya damai, dan decade 2001-2010 sebagai Dekade Internasional bagi Budaya Damai tanpa Kekerasan terhadap Anak Sedunia. Perdamaian bukanlah semata-mata tiadanya kekerasan atau konflik, melainkan perdamaian perlu kondisi damai positif, proses keterlibatan yang dinamis yang mendorong dilakukannya dialog, sementara konflik diselesaikan dalam suasana saling memahami dan melalui kerja sama.
            Budaya damai atau culture of peace adalah sekumpulan nilai, sikap, tradisi, perilaku dan gaya hidup yang didasarkan pada hal-hal berikut. Penghormatan atas kehidupan, penghormatan yang penuh terhadap prinsip-prinsip kekuasaan, penghormtan yang penuh bagi dan peningkatan terhadap semua hak, memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik, berupaya memenuhi kebutuhan pembangunan, menghargai dan meningkatkan hak untuk pengembangan, menghargai dan meningkatkan persamaan hak dan peluang bagi pria maupun wanita, menghargai dan meningkatkan hak semua orang untuk bebas menyatakan pendapat, dan mengikuti prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi dan lain-lain. Perdamaian merupakan harapan dari semua orang, maka pada hakikatnya actor perdamaian ini juga dilakukan oleh semua orang. Budaya damai telah menjadi program badan nasional dan internasional, maka lembaga semisal PBB, UNESCO, pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil lainnya juga ikut berperan dalam menjaga tegaknya perdamaian tersebut melalui berbagai kebijakan. Budaya damai ini berada diperankan terutama oleh para orangtua, guru, politisi, jurnalis, badan dan kelompok keagamaan dan seluruh masyarakat yang memiliki profesi apapun. Pendidikan pada semua jenjang merupakan salah satu sarana utama untuk membangun budaya damai. Dengan demikian inti dari budaya damai ini adalah penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh dalam bentuk pengakuan atas hak asasi manusia atau HAM. Terdapat penyebab munculnya kekerasan yang mengarah pada HAM. Pertama, adalah aspek interaksi sosial dalam masyarakat majemuk. Kedua, pelanggaran            HAM terjadi karena adanya keinginan orang untuk mendapatkan hak tanpa memperhatikan hak orang lain. Ketiga, pelanggaran HAM yang muncul akibat kesenjangan sosial-ekonomi, budaya dan politik yang terlalu lebar, sementara win win solution atau jalan kompromi menemui jalan buntu. Keempat, kekerasan dan pelanggaran HAM bisa akibatkan oleh kebijakan yang repressive, sementara kehendak dan pendapat tidak disalurkan dengan baik.
            Education for all atau EFA adalah seruan untuk komitmen menyeluruh dalam Rancangan Kerja Dakar untuk Aksi. Seruan EFA adalah mengajak semua Negara untuk bertanggung jawab bagi terpenuhinya pendidikan untuk semua menuntut versi yang mereka tentukan sendiri. EFA memiliki beberapa tujuan, yakni: mempromosikan, mempertajam, mengawasi, dan memupuk yang sebagian besar mengenai hal yang bersangkutan dengan berlangsungnya pendidikan yang baik. Dari data yang sudah disebutkan di atas, tampaknya pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi dalam menangani pembangunan bidang pendidikan. Peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan kesejahteraan guru, perbaikan rasio guru dan siswa, dan pemerataan pendidikan, terutama untuk jenjang SLTP ke atas, masih perlu harus ditinggalkan. Hal yang terakhir tersebut terasa mendesak mengingat program wajib belajar 9 tahun telah dicanangkan sebagai komitmen pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan dasar bagi setiap warga Negara.
            Liberalisme dan demokrasi pendidikan. Kebebasan memiliki berbagai macam bentuk. Dalam politik, kebebasan bisa berarti sebagai kemerdekaan dari penjajahan, pengaruh dan dominasi asing. Dalam ideology, kebebasan berarti bebas menyatakan ide, pendapat, paham atau aliran pemikiran tertentu. Bahkan kebebasan itu sendiri bisa menjadi sebuah ideology tersendiri, sebutan liberalisme misalnya. Dalam pendidikan liberal, metodologi pengajarannya mengutamakan keterlibatan peserta didik sebesar-besarnya dalam bentuk metode partisipatoris – misalnya metode diskusi, resilitasi, eksperimentasi, inquiry, discovery dan lain-lain – yang dapat mengekspresikan kebebasan berpikir seseorang. Dalam kebebasan terdapat keseimbangan antarahak dan kewajiban. Di titik inilah berlangsung keterpaduan antara kebebasan dengan demokrasi. Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan, musyawarah dan tanggung jawab. Demokrasi pendidikan merupakan proses pembelajaran seluruh civitas akademika untuk memajukan pendidikan. Pendidikan yang demokratis berarti melibatkan murid secara aktif dalam seluruh proses pendidikannya. Pendidikan damai pada dasarnya mengembangkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi seperti ini. Sangat penting pemahaman tentang pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup damai melalui pemberdayaan emosi positif dan internalisasi nilai-nilai perdamaian dalam keseluruhan proses pendidikan.
Perspektif Pendidikan Islam
Pertama, Islam merupakan akar kata aslama-yuslimu-Islaman, yang berarti khadla’a atau inqaada yaitu tunduk, pasrah, menyerah, ketundukan atau penyerahan diri. Hakikat muslim adalah orang yang tidak saja menyerah secara total kepada kehendak Allah dengan mematuhi kodrat-iradat Allah dan fitrah kemanusiaan yang digariskan kepadanya, melainkan juga mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi larangannya. Kedua, kata Islam berasal dari kata salima artinya selamat. Maksudnya selamat dunia akhirat. Ketiga, kata Islam berasal dari kata salimun artinya damai, yakni damai dengan Allah, damai dengan makhluk, dan damai dengan sesama. Damai dengan Allah tidak lain adalah taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kapadaNya. Damai dengan sesame berarti hidup rukun dengan sesama manusia, tidak berbuat jahat, bahkan berbuat baik kepada sesame manusia tanpa memandang perbedaan agama, warna kulit, ras, seks, suku, bangsa, bahasa, keturunan, kekayaan, pangkat atau kedudukan, dan lain sebagainya. Baik makna maupun istilah di atas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memiliki prinsip nilai luhur yang menghargai kemanusiaan, sesuai dengan fitrahnya, dan mengutamakan keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan perdamaian. Dari uraian di atas, ada beberapa prinsip dalam Islam yang relevan untuk disampaikan di dalam kajian ini. Pertama, sumber normative Islam adalah Al-Quran dan Hadis. Kedua, ajaran pokok Islam meliputi keimanan (aqidah), hukum (syari’ah), dan moral Islami (akhlak). Ketiga, sumber ajaran Islam sudah semestinya diaktualisasikan dalam kehidupan. Bentuk aktualisasi sumber dan ajaran Islam dari seseorang terhadap sesama manusia terwujud dalam bentuk solidritas sosial, toleransi, demokrasi, saling menghargai, membantu, gotong-royong, dan lain sebagainya. Bentuk aktualisasi sumber dan ajaran Islam oleh seseorang terhadap keluarga terwujud dalam bentuk upaya orang tua mendidik putra-putrinya dengan sebaik-baiknya. Termasuk di antara aktualisasi ajaran Islam terhadap masyarakat adalah berbuat baik dengan tetangga, menghormati tamu, mencintai saudara, menjalin silaturrahmi dengan sesama, saling tolong-menolong dan lain sebagainya. Bentuk aktualisasi sumber dan ajaran Islam oleh seseorang terhadap alam semesta terwujud melalui upaya mengelola alam, menjaga dan melestarikannya dari kepunahan dan kerusakan. Rasulullah SAW pun terlibat dalam perang, dan semuanya dilakukan untuk membela diri, bukan menyerang atau tindakan agresi. Itulah sebabnya jihad pada periode Mekah disebut juga dengan jihad al-silmi atau jihad damai.
Perlu ditegaskan bahwa dalam kajian ini, ajaran Islam dibedakan dengan pendidikan Islam. Disebut ajaran Islam bila sumbernya adalah Al-Quran dan Hadis. Materi ajaran Islam dengan demikian mencakup apa yang disampaikan oleh Al-Quran dan Hadis. Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa prinsip ajaran silam meliputi tiga hal utama, yakni aqidah, syari’ah dan akhlak. Ini berarti bahwa cakupan materi ajaran Islam meliputi masalah keimanan atau keyakinan, hukum yang terkait dengan ibadah dan muamalah, serta perilaku manusia, baik terhadap Tuhannya, Rasulnya, dirinya sendiri, masyarakatnya, lingkungannya maupun terhadap alam semesta. Sikap ini tidak menyalahi prinsip al-muhafadzah ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara hal yang lama yang baik sambil mengambil hal baru yang lebih baik). Berkenaan dengan hal tersebut, berikut ini disarikan model metode pembelajaran yang disampaikan oleh Al-Quran dan Hadis. Pertama, metode amaliyah atau praktek. Ajaran Islam tidak cukup diberikan dengan nasihat, melanikan memerlukan amal nyata sehingga esensi ajaran Islam tidak dipahami sekedar sebagai symbol, namun terbentuk dalam pribadi manusia secara totalitas. Kedua, metode amar ma’ruf nahi munkar. Kebanyakan peilaku kekerasan yang ada di berbagai Negara, bukan terjadi karena substansi kekerasannya, melainkan karena fungsi manusia dalam menjalankan yang makruf dan larangan yang munkar  tidak berjalan secara efektif. Implikasi metode amar ma’ruf nahi munkar dalam pendidikan bisa terwujud melalui penegakan aturan, tata tertib, kode etik, dan disiplin civitas akademika. Guru misalnya, tidak tidak bersikap otoriter terhadap murid, dan murid tidak menyalahi tata tertib sekolah. Ketiga, metode nasihat. Sesungguhnya Al-Quran datang dengan membawa nasihat dan pelajaran yang jelas bagi manusia. “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Keempat, metode kisah. Dalam kisah sering kali terdapat perumpamaan atau ibarat, dank arena itu metode ini bisa juga dinamai dengan metode amtsal atau ibrah. Kelima, metode uswatun hasanah (metode demonstrasi). Diantara factor-faktor yang berpengaruh bagi pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari adalah keteladanan. Keenam, metode hiwar (metode tanya jawab, dialog, diskusi, debat dan sejenisnya). Metode ini menumbuhkan sikap kritis dan saling pengertian. Ketujuh, metode lain, seperti rihlah ilmiyah, tarhib wa targhib, dan lain sebagainya. Metode harapan dan ancaman atau tarhib wa targhib juga sering dimuat dalam Al-Quran maupun Hadis, sebab salah satu fungsi Keduanya bagi manusia adalah sebagai kabar gembira dan ancaman.
Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran penting dalam tema HAM ini. PAI berwawasan HAM merupakan upaya preventif dalam menangani konflik dan kekerasan, seperti terjadinya kerusuhan massal, ketegangan sosial dan pelanggaran HAM. Dapat diuraikan secara singkat beberapa hak yang dicakup dalam Deklarasi Kairo. Pertama, hak untuk hidup dan tidak dilakukan semena-mena. Kedua, hak bebas untuk memilih agama dan keyakinan. Ketiga, hak berpendapat dan berkumpul. Keempat, hak memiliki harta, Kelima, hak memperoleh kehormatan dan reputasi.
PAI berwawasan demokrasi. Inti dari demokrasi adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tanpa demokrasi kreativitas manusia tidak mungkin berkembang. Baik secara normative maupun empiris, Islam sama sekali tidak anti-demokrasi. Pertama, kaidah ta’aruf  (saling mengenal). Kedua, kaidah syura (musyawarah). Ketiga, kaidah ta’awun (kerja sama). Keempat, mashlahah atau menguntungkan masyarakat. Kelima, kaidal ‘adil atau adil. Keenam, kaidah taghyir atau perubahan.
Islam memandang kualitas emosi positif atau akhlak al-karimah seperti menyelesaikan persoalan dengan sabar, mencintai kebaikan, jujur dan bersikap pemurah dan santun, merupakan ajakan yang kondusif bagi upaya perdamaian serta menghindari kekerasan. Sebaliknya, kualitas emosi negatif atau akhlak al-dzamimah, seperti dhalim, iri hati, berdusta dan sombong, akan memperkeruh resolusi konflik, bahkan dapat menimbulkan permusuhan dan kekerasan. Melalui akhlak positif, Islam mendamaikan dunia.

Daftar Pustaka



Rahman Assegaf, Abd. 2003. Pendidikan Tanpa Kekerasa. Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana Yogya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar